Tradisi Cak-cakan di Desa Sambirenteng
Tradisi Cak-cakan di Desa Sambirenteng |
Diperkirakan
tradisi ini sudah berlangsung sejak beratus-ratus tahun lalu dan tetap
dipelihara oleh warga setempat, biasanya tradisi ini rutin dilakukan tepat pada
tilem kapitu, bulan mati ketujuh, setiap tahunnya. Tradisi Macak-cakan merupakan
sebuah permainan sabungan Ayam yang disakralkan oleh Krama Desa Sambirenteng
yang dilaksanakan di areal Pura Bale Agung Desa Sambirenteng.
Dalam proses tabuh rah atau cak-cakan itu
terdiri dari beratus-ratus seet. Hal tersebut terjadi dikarenakan dalam aturan
adat, masing-masing krama desa membawa satu ekor ayam aduan. Bagi krama yang
tidak memiliki ayam dapat menukarnya dengan uang atau disebut dengan pemirak.
Tradisi ini muncul pada awalnya karena desa
Sambirenteng mengalami bencana seperti banyak warga yang jatuh sakit, terjadi
keributan antar warga, sehingga membuat pemimpin desa kala itu memohon
petunjuk. Akhirnya mendapat pawisik untuk melaksanakan pecaruan Panca Cata
setiap Tilem Kapitu. Tradisi merupakan sebuah simbolik untuk menyeimbangkan
keberadaan manusia dengan Tuhan. Seperti yang tertuang dalam isi ajaran Tri
Hita Karana.
Kelian
Pakraman Sambirenteng Jro Bendesa Nengah Mas menjelaskan tradisi mecakcakan
merupakan tradisi yang telah dilaksanakan turun temurun. Upacara ini
sesungguhnya merupakan rangkaian pecaruan di desa setempat yang bertepatan
dnegan Tilem kepitu.
“Ini kan upacara pecaruan dengan ayam dengan tujuan
memberikan labda terhadap bhuta kala, setelah itu dilanjutkan dengan pegibungan
masyarakat desa Sambirenteng,” papar Jro Bendesa Nengah Mas.
Tradisi
cakcakan juga tidak terlepas dari digelarnya adu sate atau sabungan ayam yang
merupakan rangkaian awal cakcakan. Setiap krama desa wajib menyetorkan satu
ekor ayam aduan. Alhasil sebanyak 120 lebih pasang ayam aduan sudah diadu
Mereka yang tidak memiliki ayam aduan harus menggantikan dengan uang. Seperti
disampaikan Perbekel desa Sambirenteng I
Wayan Ginantra.
“Tradisi ini secara rutin dilaksanakan setip tahunnya
pada tilem kapitu, dan malamnya dilanjutkan dengan malam siwaratri. Setelah itu
baru dilanjutkan dengan upacara makan bersama atau magibung bersama seluruh
warga desa Sambirenteng,” ungkap MekelSambirenteng.
Permainan adu
ayam tersebut diadili oleh seorang juru
kemong untuk mengatur jalannya pertandingan. Dengan menggunakan ceeng atau
kenok juru kemong harus berlaku adil. Ketika
Ceeng yang terbuat dari batok kelapa yang dilubangi tersebut benar-benar
tenggelam, saat itulah kemong dibunyikan sebagai pertanda pertarungan berkahir.
Seperti diungkapkan juru kemong Made Derata.
“Kalo pada adu ayam pada umumnya
merka hanya mengenakan hitungan angka. Tapi disini kami menggunakan kenok dan
ceeng. Inilah yang dipake untuk menjaga keadilan jalannya pertandingan”.
Tradisi yang telah dilaksanakan
turun-temurun sejak beratus-ratus tahun itu sangat dijaga keberadaannya oleh
desa setempat. Semua kalangan warga baik tua maupun muda ikut terlibat dalam
tradisi tersebut.
Ditanya pendapat mnegenai tradiri
Macak-cakan, Ketua Sekaa Truna-truni Desa Sambirenteng Nyoman Sugiarta
mengungkapkan kekagumannya terhadap tradisi unik yang dimiliki desanya itu.
Menurut Sugiarta tradisi diharapkan terus berlanjut meskipun banyak pengaruh
modern seperti saat ini.
“Ya ini tradisi yang bagus. Kita selalu generasi muda
berharap agar tradi ini terus berlanjut sapai seterus-terusnya,” ungkap
Sugiarta.
Setelah dilaksanakannya tradisi
cak-cakan tersebut, dilanjutkan dengan tradisi Magibung atau makan bersama
dengan bahan dasar olahan dari daging Ayam yang kalah diadu atau disebut dengan
be Cundang. Hal itu memiliki makna kebersamaan diantara umat manusia sesuai
dengan Tri Hita Karana untuk mengharmoniskan hubungan manusia dengan manusia
atau disebut dengan Pawongan. Seperti diungkapkan Jro Bendesa Nengah Mas.
“Seperti Tri Hita Karana. Kita karena megibung kan
hubungan manusia dengan manusia tuh, jadi tidak ada perbedaan anatara kita,
juga tidak ada diskriminasi. Semuanya bergabung ikut makan. Nah, untuk menunya
itu memakai be pecundang. Ayam yang kalah di adu itulah yang nantinya dimasak
dan diolah lalu kemudian malamnya kita makan,” tandasnya.
Ayam bakal Magibung |
Setelah sebulan pagelaran tabuh rah
yang disebut Macak-cakan tersebut dilanjutkan dengan upacara Ngrebeg. Dimana
upaca ini merupakan pecaruan yang dilaksanakan di perempatan agung desa
Sambirenteng dengan tujuan memberikan pangupah-upah terhadap Sang Bhuta Kala.
Sarana yang digunakan adalah Kambing dengan Sapi. Seperti diungkapkan Jro
Bendesa Desa Sambirenteng Nengah Mas.
“Acara Ngrebeg ini juga upacara Bhuta Kala. Untuk tahun
ini kita pakek Kambing dan Sapi. Ini adalah pagibungan bukan untuk manusia
lagi, tapi untuk para Bhuta-nya,” ujar Jro Bendesa.
Mari jaga dan lestarikan Budaya Asli
Buleleng.
Kalau bukan kita siapa lagi???
Kalau tidak sekrang kapan lagi???
Komentar
Posting Komentar