Gebug Ende, Tradisi Turunkan Hujan



Gebug Ende, Tradisi Turunkan Hujan


Ada sejumlah tradisi yang unik dan menarik di Bali Utara. Salah satunya tradisi yang bercirikan semangat berperang bernafaskan kepahlawanan yang sampai saat sekarang masih ada, dilakoni masyarakatnya. Perang Rotan atau yang lebih dikenal dengan gebug ende, terdapat di desa patas kecamatan gerokgak. Namun tradisi ini sebenarnya berasal dari Desa Seraya Karangasem.

Tradisi ini biasanya dimainkan jika musim kemarau tiba. Saat itu masyarakat Seraya memiliki tradisi budaya religious itu untuk memohon turunnya hujan. Tradisi ini dimainkan oleh dua orang laki-laki, dimana pemain saling memukul lawan dengan menggunakan sebuah rotan yang panjangnya mencapai 2 meter. Sedangkan alat penangkisnya sebuah perisai bergaris tengah 60 cm terbuat dari lapisan kulit sapi kering yang terikat pada bingkai kayu. Disamping para pemain, di dalam arena permainan juga terdapat dua orang yang bertugas untuk melerai ketika pertarungan semakin keras. Mereka disebut sebagai pakembar.

Meski tubuhnya terkena pukulan rotan, mereka merasa gembira dan menari-nari kegirangan. Sementara suara gamelan baleganjur  bertalu-talu sebagai pengiring memanaskan suasana ”perang”. Penonton pun sorak-sorai unruk memberika suport. Mereka bertanding satu lawan satu.

Cara ”perang” mereka boleh dikatakan menarik dan mengerikan, karena berduel satu lawan satu memakai alat pemukul dari rotan tanpa mengenakan baju hanya pakai busana kain adat saja. Tak pelak cucuran darah pada tubuh dan kepala akan mengalir  karena pukulan sebatang rotan, paling tidak bekas memar akan membekas setiap pukulan rotan itu mendarat di punggungnya apalagi Gebug ini di mainkan dibawah terik matahari.

Atraksi Gebug umumnya dilakukan di sela-sela istirahat kerja di ladang pada siang atau sore hari biasanya saat akan menjelang musim tanam di ladang.

Pelatih Gebug anak-anak Wayan Nadi mengatakan, saat musim kemarau tiba maka digelarlah tradisi ini untuk memohon kepada Ida SANG Hyang Widhi untuk dapat menurunkan hujan.

“Tradisi ini biasanya diadakan saat musim-musim kering. Saat hujan lama ndak turun pada musim itu maka digelarlah Gebug Ende ini. Aslinya tradisi ini berasal dari Desa Seraya, Karangasem,” ungkapnya.

Penua Desa Patas Ketut Koroh mengatakan, kalau permaiann Gebug salahsatu pemainan yang sampai mengelarkan darah dari pukulan rotan maka ada kemungkinan hujan akan cepat turun. Singkatnya, menurut kepercayaan masyarakat Seraya, permainan  Gebug digelar di wilayah desanya  ini untuk memohon kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa (Tuhan ) agar hujan segera turun untuk keperluan pertanian dan konsumsi.

“Jika terjadi sesuatu maka bisa digelar gebug ini. Misalnya seperti datangnya hama yang tidak bisa dikendalikan, gebug inilah penawarnya. Jika sudah diadakan gebug maka perlahan hal yang buruk tersebut akan hilang dan kembali seperti semula. Apapun hal-hal yang buruk tersebut jika ditawar dengan permainan gebug ini maka hal tersebut sudah pasti akan musnah. Begitu menurut kepercayaan masyarakat,”  tegasnya.

.Salah sorang warga Desa Patas Komang Wastika yang akrab disapa Mang Jambul menceritakan, masa mudanya dulu ia sering bermain ende. Menurutnya jika seseorang yang sudah hobi dalam bermain, ketika mndengar gamelan maka muncul hasrat ingin bermain. Tak jarang pula ia merasakan sakitnya sabetan rotan dari lawannya. 

“Lukanya gak sampai dalam sekali, tapi bisa sampai pingsan. Kalau sudah hobi yam au bagaimana lagi, kalau ada musuh ya sudah lawan saja. Dulu saya begitu saat masih sekolah. Kalau denger gamelannya saja saya sudah ingin sekali bermain. Jika dalam permainan itu salah satu pemain kepalanya kena dan mengeluarkan darah, pasti hujan akan turun. Gak saat itu juga sih, tapi masyarakat yakin kalau sudah kepala yang kena dan berdarah, hujan pasti turun,” ujarnya.

Kadek okta purnama salah seorang siswa SD yang tergabung dalam sekaa gebug mengatakan, dirinya senang mengikuti tradisi ini. Tidak jarang juga ia merasakan sakitnya pukuln rotan milik lawan.

“Saya senang banget bisa main gebug ini. Memang sakit sih tapi saya senang. Pernah saya kena pukul dua kali sampai biru-biru badan saya, tapi gak apa-apa nanti juga sembuh sendiri. Kalau bisa sih saya pengen jadi pemain gebug sampai tua,. Biar bisa ngasih tahu ke orang lain gebug itu bagaimana, ungkapnya antusias.

Ketika rotan itu mengenai kepala serta mengeluarkan darah, maka diyakini akan turun hujan. Diakui memang tidak selalu sehabis atraksi Gebug hujan akan spontan turun, sebab turunnya hujan tergantung kepada-Nya, paling tidak warga sudah berupaya memohon kepada yang kuasa.

Atraksi ini biasanya berlangsung di tempat-tempat umum dengan mengundang lawan yang ada di desa.  Gebug  dilakoni oleh baik anak kecil, dewasa maupun orang tua tak ketinggalan dalam mengadu kepintaran memainkan batangan rotan dan perisai.

Di tengah-tengah kemajuan jaman saat ini, tradisi gebug yang telah ada pada jaman Bali aga ini sudah hampir punah . maka kita sebagi pewaris budaya sudah sepatutnya membanggakan dan melestarikan keberadaannya.

SUMBER : Pelatih Gebug anak-anak Wayan Nadi 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tradisi Cak-cakan di Desa Sambirenteng

Monumen Perjuangan Tri Yuda Sakti

Lukisan Wayang Kaca Desa Nagasepaha